KUBAH MASJID DEMAK

SEKILAS TENTANG MASJID DEMAK
MASJID 9 WALI

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_De_moskee_van_Demak_TMnr_60054754
Masjid Demak kini telah berusia 528 tahun. Bangunan ini merupakan masjid tertua di Jawa dan merupakan salah satu cikal bakal perkembangan Islam di Pulau Jawa, sampai kerajaan Islam di Banten.
Konon masjid yang didirikan oleh 9 wali ini dibangun hanya dalam 1 malam. Sayangnya bangunan yang berdiri tahun 1478 Masehi ini, tidak lagi dapat dinikmati sepanjang hari. Karena masjid ini dibuka untuk umum hanya pada sholat Jum’at, Idul Fitri dan Idul Adha saja.
Peranan Wali Songo amat besar dalam penyebaran agama Islam di Jawa. Mereka melakukan dalam lingkungan penganut agama Hindu yang amat kental, yang pada waktu itu merupakan kepercayaan mayoritas masyarakat Jawa. Mereka berdakwah melalui pendekatan yang menjadi kebiasaan masyarakat setempat seperti tradisi kesenian serta ritual-ritual lain. Dengan perjuangan mereka, akhirnya agama Islam dapat diterima sebagai keyakinan sebagian besar masyarakat Pulau Jawa.
Bahkan seorang ulama’ terkemuka di Jateng, KH. Ali As’ad mengemukakan bahwa ajaran Islamlah yang paling sesuai dengan sikap Jawa. “Misalnya saja sikap lemah lembut yang ditekankan dalam Al-Qur’an, adalah sikap masyarakat Jawa pada umumnya. “Demikian beliau mencontohkan….
Walaupun mudah diterima, bukan berarti dakwah Islam tidak mengalami hambatan. Pertentangan muncul dari kerajaan-kerajaan yang sudah mengakar di wilayah itu. Salah satu contohnya adalah kerajaan Majapahit yang dengan sengit menghambat dakwah Islam. Di sinilah peran Walisongo diuji, sampai akhirnya Islam mengalami kejayaan pada masa Kerajaan Demak, yang juga merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa.
Raja Demak pertama adalah Raden Fatah, yang oleh Walisongo diberi gelar Sultan Syeh Fatah. Di masa ini Islam mengalami kejayaan dan kemajuan yang pesat. Perkembangannya meluas sampai ke Jabar, yang kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam di Banten. Simbol kejayaan Islam itu terlihat dengan dibangunnya Masjid Demak. Masjid ini bukan hanya tempat ibadah terbesar saat itu, tapi juga pusat dakwah Islam sampai ke seluruh pelosok nusantara.

• Dibangun satu malam
Rencana pembangunan masjid ini disepakati beberapa Wali Allah yang kita kenal dengan Walisongo. Mereka bersepakat mendirikan Masjid di wilayah Demak, mengingat pusat wilayah ini yang strategis dan juga merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa.
Para Wali itu adalah Sunan Bonang dari Lasem, Sunan Tuban, Sunan Gunung Jati dari Cirebon, Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga, Sunan Kadilangu dan Sunan Demak. Menurut cerita, masjid ini dibangun hanya dalam tempo 1 malam. Pembangunannya dimulai selepas sholat Isya’ dan menjelang sholat subuh, masjid sudah dapat dipakai untuk berjama’ah sholat subuh.
Ciri khas yang tampak pada bangunan ini adalah, masjidnya memiliki 3 kubah. Masing-masing kubah melambangkan filosofi tingkat kehidupan manusia, dalam hubungannya dengan Allah, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Sedangkan mustaka masjid itu, terbuat dari tembaga seberat ± 250 kg. berhiaskan 4 sudut bunga padma (teratai), di dalam kelopak atas bunga teratai itu, tersimpan mustaka yang konon berisi nasi liwet yang dikeringkan (kerak nasi).
Maksudnya, agar amal, wakaf tidak terputus.
Masjid Demak memiliki 4 tiang penyangga yang dikenal dengan sebutan empat soko guru. Dan satu tiang tatal (tambahan). Tiang-tiang tersebut memiliki ketinggian 16,30 m, dengan ketebalan 8-11 cm. sedangkan tiang tatal lebih tinggi, yakni 16,75 m dengan ketebalan 11 cm.
Masing-masing tiang didirikan oleh para wali. Para wali tersebut antara lain:
*) Tiang bagian barat laut didirikan oleh Sunan Bonang dan Sunan Tuban
*) Tiang bagian barat daya didirikan oleh Sunan Gunung Jati
*) Tiang bagian tenggara didirikan oleh Sunan Ampel
*) Tiang bagian timur laut didirikan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Kadilangu dan Sunan Demak
Setelah tiang itu berdiri, ternyata masih kurang kuat. Akhirnya ditambah tiang bagian tengah sebagai tambahan (tatal) oleh Sunan Kalijaga. Tiang tatal tersebut bukanlah terbuat dari kayu jati seperti 4 soko guru lainnya. Melainkan serpihan-serpihan kayu yang disatukan dan diikat menjadi satu.
Untuk menampung jama’ah yang kian bertambah, atas perintah raja Demak, luas masjid inipun ditambah pendopo (teras), Pendopo itu merupakan teras dari istana Kerajaan Demak, yang dipindahkan ke masjid atas perintah raja Demak. Pendopo ini dihiasi dengan gambar kura-kura yang menurut cerita melambangkan tahun berdirinya, yaitu tahun saka 1401, artinya 1 adalah kapal kura-kura, 4 kakinya, kosong adalah badannya dan satu ekornya.
Sesuai perkembangan, kini juga berdiri menara adzan yang terbuat dari baja. Di dalam Masjid, masih tersimpan benda-benda bersejarah seperti kursi kencana dan mimbar yang dulunya merupakan krusi singgasana Raden Fatah. Sedangkan, depan masjid yang terkenal, bedug, kentongan, Al–Qur’an 30 Juz tulisan tangan dan peninggalan lainnya tetap tersimpan rapi di museum yang terletak persis di samping kiri masjid.
Tempat wudhu para wali dan jama’ah yang pada waktu itu masih berbentuk kolam, kini tidak dipakai lagi. Namun untuk melestarikannya, kolam tersebut dipagari dengan pagar yang cukup tinggi. Sebagai gantinya, jama’ah kini dapat memakai air keran yang ada di samping masjid.

• Ulah tangan jahil
Sebagai masjid yang penuh peninggalan sejarah Islam, Masjid Demak tetap menjadi masjid terbesar di kota Demak dan dikunjungi banyak orang. Kondisi lingkungannya yang amat trrjaga, baik kebersihannya/bangunannya membuat para pengunjung merasa nyaman berada di masjid ini.
Sampai saat ini, masjid ini tidak pernah berhenti dari pembaruan. Renovasi-renovasi terus dilakukan, terutama di lingkungan sekitarnya. Di lingkungan dalam, pembangunan tampaknya terus dibenahi. Dari mulai teras masjid, museum sampai makam yang terletak di belakang masjid, tampak tertib dan teratur.
Sayangnya, tidak setiap hari ruangan utama masjid dapat dimasuki pengunjung. Pihak pengelola hanya membuka ruang utama masjid ini pada hari Jum’at. Padahal, di tempat itu seharusnya pengunjung dapat melihat kebesaran dan kebersamaan 9 wali dalam mendirikan tempat ibadah ini.
Menurut salah seorang pengurus masjid, peraturan itu terpaksa diterapkan untuk menjaga kelestarian masjid dari pengrusakan yang dilakukan oleh tangan-tangan yang masih percaya pada hal-hal bersifat tahayul dan musyrik. Contohnya, banyak pengunjung yang sengaja mencungkil tiang penyangga (soko guru), terutama tiang totalnya, yang memang bukan terbuat dari kayu jati. Akibatnya, tiang ini rentan sekali terhadap kerusakan.
“Mereka masih mempercayai bahwa kayu-kayu masjid ini, bisa membawa berkah bagi mereka. Itulah sebabnya kerusakan tatal tak bisa dihindari.“ kata Bapak yang tidak mau disebut namanya ini.
Walaupun beberapa pengunjung tampak sedikit kecewa, karena tak bisa masuk ke dalam ruangan utama masjid, tapi larangan ini tampaknya tak akan dicabut. Pengunjung hanya bisa melihat dari jendela-jendela besar yang selalu terbuka inipun tak bisa menunjukkan kejelasan isi di dalam masjid, karena masih ada pagar tinggi yang membatasinya.

BERDIRINYA KERAJAAN ISLAM DEMAK

A. Kerajaan Demak
Dalam penyiaran dan perkembangan Islam di Jawa, para Muballigh Islam yang dikenal dengan sebutan “Walisongo” (Wali Sembilan) memusatkan kegiatannva dengan menjadikan kota Demak sehagai sentral segala sesuatunya. Atas dukungan para Walisongo tersebut terutama atas dasar perintah Sunan Ampel, maka Raden Patah ditiigaskan untuk mengajarkan agama Islam dan membuka Pesantren di desa Glagah Wangi. Tidak lama kemudian Raden Patah membuka Madrasah dan Pondok Pesantren di desa tersebut, lama kelamaan desa ini banyak dikunjungi orang. Tidak hanya menjadi pusat ilmu pengetahuan dan agama, tetapi kemudian menjadi pusat perdagangan dan bahkan menjadi pusat kerajaan Islam pertama di Jawa.
Kerajaan Islam pertama ini didirikan oleh Raden Patah atas restu dan dukungan para Walisongo yang diperkirakan tidak lama sesudah keruntuhan kerajaan Majapahit (semasa pemerintahan Brawijaya ke V/Kertabumi) yaitu lebih kurang pada Th. 1478 M sinengkalan (ditandai dengan Condrosengkolo): “Sirno ilang kartaning bumi”. Adapun berdirinya kerajaan Demak sinengkalan: “Geni Mati Siniram Janmi”, yang artinya Tb. Soko 1403 (Tb. 1481 M).
Sebelum Demak menjadi pusat kerajaan, maka Demak merupakan kadipaten wilayah kerajaan Majapahit (Brawijaya V) dan sebelum berstatus kadipaten Demak lebih dikenal orang dengan nama “Glagah Wangi” yang menjadi wilayah kadipaten Jepara dan merupakan satu-satunya kadipaten wilayah Majapahit yang adipatinya memeluk agama Islam.
Menurut cerita rakyat, orang yang pertama kali dijumpai oleh Raden Patah di Glagah Wangi adalah Nyai Lembah yang berasal dari rawa Pening. Atas saran Nyai Lembah inilah maka Raden Patah bermukirn di desa Glagah Wangi yang kemudian dinamai “ Bintoro” Demak. Kemudian dalam perkembangannya dan semakin ramainya masyarakat, akhirnya Bintoro menjadi ibu kota negara.
Adapun asal kata “Demak” ada beberapa pendapat, antara lain:
– Menurut Prof. Purhotjaroko, Demak berasal dari kata “Delemak” yang artinya “ tanah yang mengandung air” (rawa).
– Menurut Sohihin Salam dalam bukunya “Sekitar Walisongo” menyatakan bahwa Prof. Dr. Hamka berpendapat kota Demak adalah berasal dari bahasa Arab “Dimak” yang artinva “air mata”, menggambarkan kesulitan dalam menegakkan agama Islam pada waktu itu.
– Menurut Prof. R.M. Sutjipto Wiityosuparto, bahwa Demak itu berasal dan bahasa Kawi yang artinya pegangan atau pemberian.
Dari berbagai pendapat tersebut, maka ada kecenderungan kata “Demak” itu memang berasal dan bahasa Arab “Dimak” artinya air mata yang menetes, karena betapa sulitnya saat itu para Walisongo menyiarkan dan menegakkan agama Islam ke dalam dada masyarakat yang sudah lama mempunyai kepercayaan dan keyakinan yang kuat terhadap ajaran-ajaran agama Hindu.

B. Letak Lokasi Istana Kerajaan Demak
Dari hasil penelitian IAIN Walisongo Jawa Tengah th. 1974 M tentang bahan-bahan sejarah Islam di Jawa Tengah bagian Utara, telah dilaporkan bahwa ada beberapa pendapat mengenai letak kesultanan (istana kerajaan) Demak yaitu:
Pertama: Bahwa bekas kesultanan (istana kerajaan) Demak itu tidak ada, dengan keterangan hahwa Raden Fatah-mulai menyebarkan agama Islam di Demak adalah sematamata untuk kepentingan agama Islam. Pendirian Masjid Agung Demak bersama para Walisongo merupakan lambang kesultanan Demak. Adapun tempat kediaman Raden Patah hukan berupa istana yang megah, tetapi sebuah rumah biasa yang letaknya diperkirakan sekitar stasiun Kereta Api sekarang, tempat itu dinamakan ‘Rowobatok”
Kedua: Bahwa pada umumnya letak masjid tidak terlalu jauh dari istana. Diperkirakan letak kraton Demak berada 3 tempat yang sekarang didirikan Lembaga Pemasvarakatan (sebelah timur alun-alun) dengan alasan bahwa pada zaman Kolonial ada unsur kesengajaan menghilangkan bekas kraton atau istana tersebut. Pendapa ini didasarkan atas adanya nama-nama perkampungan yang mungkin mempunvai latar belakang historis, seperti nama: Sitihinggil (Setinggil, Betengan, Pungkuran, Sampangan dan Jogoloyo).
Ketiga: Bahwa letak kraton atau istana Demak berhadap-hadapan dengan Masjid Agung Demak, menyeberangi sungai dengan ditandai oleh adanya 2 (dua) pohon Pinang. Kedua pohon Pinang tersebut masih ada, dan diantara kedua pohon itu terdapat makam yang disebut Kyai Gunduk. Menurut kepercayaan penduduk setempat bahwa yang ditanam itu sesungguhnya berupa tombak (pusaka).

C. Raja-raja Demak
1. Raden Patah (Raja Pertama)
Raden Patah adalah putra raja Majapahit yang terakhir (dan zaman sebelum Islam) yang bernama Brawijaya. Ibu Raden Patah konon seorang putri Cina dari kraton Majapahit. Waktu hamil putri itu dihadiahkan kepada seorang anak emasnya yang menjadi Gubernur di Palembang. Di situlah Raden Patah lahir, yaitu sekitar Th. 1148 M. Sewaktu kecilnya bernama Raden Hasan.
Setelah Raden Patah sampai pada usia muda, lalu pergi ke Jawa untuk belajar dan berguru dengan Sunan Ampel (Raden Rahmad) di Ampel Denta, dan kemudian menikah dengan Nyai Ageng Malaka (putri Sunan Ampel). Selanutnya diperintahkan Sunan Ampel untuk menyebarkan agama Islam di Glagah Wangi (Jawa Tengah). Di tempat inilah Raden Patah bersama istimewa mengepalai suatu masyarakat kecil kaum muslimin dan istidah ada sebelumnya. Pengirimannya ke Glagah Wangi (yang kemudian disebut Bintoro) adalah sebagai pelaksanaan Walisongo yang hendak membuat Demak sebagai pusat kegiatan Islam yang terletak di pantai Utara di pertengahan tanah Jawa, dan dari sana kelak mudah masuk ke pedalaman dan jauh letaknya dari Majapahit.
Atas usul Sunan Ampel, Raden Hasan diangkat menjadi Adipati di Glagah Wangi oleh Raja Majapahit dengan gelar “Adipati Bintoro”. Kemudian tidak lama Majapahit runtuh karena diserang oleh Gilindrawardana dan Kediri pada Th. 1478 M dan pada tahun ini pula Kadipaten Bintoro melepaskan diri dan menyatakan berdiri sendiri sebagai Kesultanan Demak yang untuk sementara dipimpin olen Sunan Giri dengan gelar “Prabu Satmoto” Selanjutnya. pada Th. 1481 M. Raden Hasan dinobatkan oleh para Wali sebagai Sultan (Raja) Islam di Demak dengan gelar ‘Sultan Syah Alam Akbar Al-Fattah”, yang kemudian dikenal dengan sebutan Raden Patah.
Sejak Majapahit dipegang kekuasaannya oleh Gilindrawardana (disebut Brawijaya ke VI) memerintah antara (Th. 1478-1498 M) maka praktis hubungan Demak dengan Majapahit menjadi terputus didudukilah kekuasaan Majapahit oleh Patih Udara dengan gelar “Prabu Udara” (Brawijaya ke VII).
Demak mengadakan penyerangan ke Majapahit (di bawah kekuasaan Prabu Udara). Peperangan ini berlangsung selama 5 tahun (Th. 1513-1518 M) di bawah pimpinan Raden Patah sendiri dengan bantuan Sunan Kudus dan Pangeran Sebrang Lor Raden Patah dan Sunan Kudus memimpin pasukan darat lewat Madiun sedangkan Patih Unus memimpin serangan lewat laut melalui Sedayu dan pada akhirnya Majapahit dapat ditaklukkan oleh Demak pada Th. 1518 M. Tidak lama kemudian setelah menaklukkan Majapahit (pada Th. 1518 M) Raden Patah meninggal dunia dan dimakamkan di sebelah utara Masjid Agung Demak.
2. Patih Unus atau Pangeran Sebrang Lor (Raja Demak ke II)
Patih Muhammad Yunus yang dalam catatan Portugis disebut Patih Unus adalah putra sulung Raden Patah, sewaktu ayahnya memerintah dia telah diangkat menjadi Patih, merangkap Putra Mahkota sekaligus sebagai Panglima Armada Demak. Kelihatannya Patih Unus atau Pangeran “Sebrang Lor” ini adalah orang yang bijaksana dan mempunyai cita-cita tinggi melanjutkan cita-cita dan perjuangan ayahnya. Daerah-daerah lain yang belum takluk ke Demak, segeralah ditaklukannya.
Sepeninggal ayahnya (Th. 1518 M) Patih Unus menduduki tahta kerajaan (kesultanan) Demak dan (kasultanan) Demak dengan gelar “Sultan Syah Alam Akbar II” dan bersegera melanjutkan kebijaksanaan pemerintahan ayahnva. Di dalam buku-buku cerita babat Jawa Timur dan Jawa Tengah. Patih Unus raja kedua sebagai pengganti Raden Patah yang sangat legendaris itu kemudian disebut Pangeran “Sebrang Lor”. Nama itu ternyata berasal dan daerah tempat tinggalnya di “Sebrang Utara.”
Setelah jatuhnya Majapahit sebagaimana disinggung di muka tadi, kraton Majapahit kondisinya menjadi terlantar. Hal ini mendorong Patih Unus memindahkan pusaka-pusaka Majapahit ke Demak, diantaranya berupa 8 (delapan) tiang pendapa yang kemudian ditempatkan (dalam serambi Masjid Demak. Sampai sekarang ke- delapan tiang tersebut masih dapat dilihat dengan megah, antik dan terpelihara baik.
Patih Unus atau Pangeran Sebrang Lor tidaklah lama memerintah, yaitu dari Th. 1518-152 M, hanya tiga tahun lamanya. Sebagian besar masa hidupnya berada di tengah-tengah medan pertempuran, tetapi sebelum naik tahta, Patih Unus sudah lama membantu ayahnya dalam pemerintahan Demak.
3. Raden Trenggono (Raja Dernak ke Ill)
Setelah Pangeran Sebrang Lor meninggal dunia dengan tidak meninggaikan satu putrapun yang semestinya bisa menggantikan, dia hanya meninggalkan beberapa saudara dan diantara yang tertua sesudah dia adalah Pangeran Sekar Sedo Lepen dan saudaranva yang muda ialah Pangeran Trenggono. Rupanya kedua-duanya berambisi hendak menjadi Raja pengganti Pangeran Sebrang Lor, sehingga timbul perebutan kekuasaan, jika tidak segera diatasi akan akan dapat menimbulkan pertumpahan darah, maka bertindaklah putra tertua dan Pangeran Trenggono, yaitu Raden Mukrnin yang lebih dikenal dengan sebutan “Sunan Prawoto”. Pangeran Sekar Sedo Lepen yang masih paman sendiri dibunuh dan mati di sungai. Dengan demikian tinggal ayahnya saja yang berhak menduduki tahta kerajaan, itu.
Baru saja Sultan Trenggono naik tahta (Tb. 1521 M), pada tahun itu juga telah datang ke Demak seorang ‘alim yang usianya masih muda sekitar 25 tahun. Dia baru saja pulang dan belajar di Mekkah beherapa tahun, kemudian kembali ke Jawa dengan tujuan hendak pulang ke negerinya, tetapi di tengah jalan mendengar berita yang sangat menyedihkan dan menimbuikan dendam yang mendalam, bahwa bangsa Portugis yang telah menaklukkan Malaka itu kini telah menguasai negeri Pasei (negeri orang ‘alim tersebut), sehingga tidak ada jalan untuk bisa kembali ke dan teringatlah bahwa tinggal Demaklah yang tidak bisa dikuasai, untuk itu dia membulatkan tekat terus menuju ke Demak. Orang ‘alim yang masih muda usianya itu bernama “Fatahillah” lahir di Pasai sekitar Th. 1490, orang Portugis menyebut dengan nama “Faletehan”.
Sesampainya di Demak Fatahillah kemudian berhidmah kepada Sultan (raja) Trenggono dengan mencurahkan semua ilmu hasil belajarnya di Mekkah dan juga pengalamannya yang luas di bidang peperangan. Kehadiran Fatahillah di lingkungan kerajaan Demak telah mempesona orang banyak terutama kalangan kerajaan lantaran postur tubuhnya yang gagah perkasa, berwibawa, matanya tajam dan bersinar membayangkan cita-cita yang besar, keteguhannya terhadap agama tampak sekali, sehingga dirinya menjadi orang yang menarik hati. Bahkan Sultan Trenggono sendiri menjadi tertari. Tidak lama kemduian Fatahillah diambil menantu oleh Sultan Trenggono, dan mengawini pula janda Patih Unus.
Sultan Trenggono pada awal kepemimpinannya telah mempunyai banyak rencana besar dan penting dalam menentukan perkembangan Islam di seluruh Jawa, sedangkan situasi pemerintahan Demak sudah tampak stabil dan berdiri kokoh, agam Islam sudah mulai menjalar kemana-mana, terutama di pesiri Jawa Tengah dan Jawa Timur meskipun di ujung Timur masih ada kerajaan Hindu yaitu di Pasuruan. Demikian juga di Jawa Barat masih ada kerajaan Hindu Pajajaran, di samping Banten dan Sunda Kelapa yang masih dikuasai oleh Portugis.
Setelah diketahui bahwa bangsa Portugis hendak menanamkan kekuasaannya di Jawa Barat, maka Sultan Trenggono memerintahkan Fatahillah untuk segera menyerang Jawa Barat. Mula-mula Fatahillah menduduki Banten, kemudian dan Banten Fatahillah terus memimpin pasukan Demak yang dikirim oleh Sultan Trenggono untuk rnelanjutkan penyerangan ke Sunda Kelapa. Pada Tanggal 22 Juni 1527 M, Sunda Kelapa dapat dikuasai penuh oleh pasukan Demak, dan selanjutnya diganti namanya menjadi “Jayakarta” artinya “Kemenangan yang sempurna”. Dari Sunda Kelapa pasukan Demak telah berhasil menaklukkan Cirebon yang menjadi kekuasaan Pajajaran. Dan sejak itu Demak telah dapat menguasai daerah-daerah pesisir Utara Jawa Barat, Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Kemudian Fatahillah diangkat oleh Sultan Trenggono sebagai Adipati Banten.
Sesudah penaklukkan Demak ke beberapa daerah di Jawa Barat tersebut, maka tidak lama dikirimkanlah pasukan Demak ke Pasuruan, yakni salah satu daerah di Jawa Timur yang pada saat itu masih diperintah oleh raja Hindu, sayang di tengah perjalanan Sultan Trenggono meninggal dunia karena dibunuh oleh seorang Adipati Surabaya yang masih berusia 10 tahun, yaitu sewaktu anak tersebut menghidangkan sirih kepada Sultan Trenggono.
Akibat kematian Sultan Trenggono ini, menyebabkan timbul kemelut politik di dalam kalangan intern keluarga penguasa Demak, kemelut yang tidak berkesudahan itu justru menjadi penyebab pokok keruntuhan kekuasaan Demak dan beralih ke Pajang.

Komentar ditutup.